Monday, March 15, 2010

Mari membuat musik mendayu-dayu

Kita memang benar benar melayu,
suka yang mendayu dayu...

Itu potongan lirik dari salah satu lagu Efek Rumah Kaca. Kalau diperhatikan, lirik itu memiliki tingkat kebenaran yang tinggi. Setidaknya dilihat dari kacamata saya sebagai mantan Music Director radio. Ada yang tidak suka dengan paradigma itu? Silakan saja, toh ini negara bebas.

Kalau saya perhatikan selama beberapa tahun terakhir, musik yang mendayu-dayu adalah salah satu syarat mutlak bila ada artis yang berniat menembus persaingan di dunia musik secara nasional dan bertahan cukup lama. Menembus persaingan secara nasional dalam hal ini adalah penjualan album ratusan ribu copy dan media coverage di semua media. Tapi hal ini tidak berlaku sebaliknya, yaitu yang menyajikan musik mendayu-dayu pasti laku dan bisa bertahan lama. Kenapa demikian? Mungkin karena kita benar-benar melayu, hahaha.

Adalah hak dan idealisme musisi untuk tidak menyajikan musik yang mendayu-dayu. Baik yang bertemakan cinta ataupun bukan. Laku atau tidak di pasaran biar nanti masyarakat yang akan menentukan. Ada banyak sekali yang memiliki pendapat demikian. Ada yang sukses sampai menembus pasar nasional, banyak juga yang gagal. Fakta membuktikan bahwa artis yang memiliki hits yang mendayu-dayu akan bisa bertahan lebih lama. Biarpun itu musisi yang memiliki image 'sangar'.

Contoh yang paling terlihat adalah grup musik Slank. Walaupun Slank sangat identik dengan gaya hidup 'keras', sangat rock n' roll dan berbagai image 'sangar' yang melekat pada mereka, tetapi pada awalnya lagu yang membuat Slank sedemikian terkenal adalah Terlalu Manis dan Mawar Merah. Kedua lagu mellow itu seakan menjadi 'anthem' lagu cinta bagi ABG di tahun 90an. Setelah popularitas Slank menurun di akhir 90-an, lagu Virus bisa membawa mereka kembali ke jalur 'yang benar'. Bahkan di album internasionalnya mereka menjagokan lagu Too Sweet To Forget yang merupakan saduran lagu Terlalu Manis. Semua lagu Slank yang saya sebutkan itu menurut saya memiliki musik yang 'mendayu-dayu'

Satu lagi contoh musik mendayu-dayu yang mempopulerkan musisi 'sangar' adalah Jamrud. Tidak ada yang menyangsikan bahwa Jamrud adalah group musik keras. Lagu Putri, Berakit-rakit dan lain-lain adalah bukti kerasnya musik yang mereka usung. Tapi bila tidak ada lagu Terima Kasih dan Pelangi di Matamu, mungkin Jamrud hanya akan terkenal di kalangan penggemar musik rock.

Untuk musisi internasional dari aliran 'keras' yang populer di Indonesia, bisa kita lihat dari Metallica dan Guns N' Roses. Black Album milik Metallica tidak akan sedemikian sukses di Indonesia bila tidak ada lagu Nothing Else Matter dan The Unforgiven. Begitu juga lagu Don't Cry dan Knockin' On A Heaven's Door yang mendongkrak penjualan album Use Your Illusion-nya Guns N' Roses.

Setahu saya, hanya sedikit musisi yang bisa bertahan secara nasional dengan lagu yang tidak 'mendayu-dayu'. Menjadi One Hit Wonder sangat mungkin, tapi setelah itu? Kembali musik mendayu-dayu yang akan banyak dibeli oleh bangsa dari rumpun melayu ini.

Jangan Masuk Dunia Hiburan !!

Mencari hiburan, itu adalah hobi semua orang. Dulu (sewaktu ABG) hiburan yang sering saya cari adalah denger radio, nonton konser, nonton TV, nongkrong-nongkrong (standar ABG lah). Kebiasaan mencari hiburan itu membawa saya ke dunia kerja yang berhubungan dengan itu semua. Seperti halnya pepatah yang mengatakan carilah pekerjaan yang sesuai dengan hobimu. Maka pekerjaan yang saya tekuni pada akhirnya adalah dunia hiburan. Dimulai dengan masuk ke dunia radio, lalu masuk ke dunia panggung hiburan dan terakhir masuk ke TV.

Apa akibat dari semua itu? Saya tidak bisa lagi terhibur dengan semua jenis hiburan itu :((

Kalau saya sedang mendengar radio, yang terbayang di kepala saya adalah suasana ruang siaran, playlist lagu, penyiar yang salah baca redaksional, dll. Apapun yang terdengar, saya langsung tahu apa yang terjadi di ruang siaran itu. Termasuk ketika sedang iklan, maka yang terbayang adalah suasana ketika membuat iklan tersebut. Istri saya sudah sangat hafal kalau saya sudah mengomentari acara radio yang sedang kami dengar di mobil dalam perjalanan ke kantor :p

Untuk panggung hiburan, sampai saat ini saya sudah lebih dari 6 tahun terlibat langsung di berbagai panggung. Mulai dari panggung sederhana untuk acara ulang tahun sampai panggung yang sangat megah untuk acara penghargaan bertaraf internasional yang disiarkan di berbagai stasiun TV. Baik sebagai talent, dan jauh lebih sering sebagai team produksi. Setiap kali saya melihat ada artis yang sedang tampil, maka yang terbayang adalah repotnya team produksi yang mensukseskan acara tersebut. Saya akan tahu ketika ada kesalahan teknis seperti kurangnya komunikasi antara si artis dan manager panggung, sound system yang kurang mumpuni sampai mood sebenarnya si artis tersebut ketika acara berlangsung.

Maka jangan heran kalau saya tidak suka kalau sengaja pergi ke suatu tempat untuk menonton acara konser siapapun, setelah jauh-jauh pergi, terjebak macet, parkir yang sangat sulit dan mahal, sampai di depan panggung saya akan tidak bisa menikmati acaranya. Saya lebih suka di rumah dan bermain bersama anak-anak saya :D

Buat siapapun yang masih ingin menikmati hiburan hiburan tersebut, saya sangat menyarankan untuk tidak masuk ke dunia hiburan. Cukup nikmati saja dari luar. Apalagi sekarang ini dunia hiburan sudah terlihat semakin hebat dan canggih. (Belakang panggungnya? ngga usah tau ya, hehehe)

Friday, March 12, 2010

Jadi musisi atau jadi artis?

Benarkah artis baru yang semakin hari semakin banyak bermunculan memang berusaha menjadi musisi? Benarkah industri musik kita berusaha menghasilkan musisi handal & berkualitas? Sejauh yang saya alami beberapa tahun terakhir, jawabannya masih tidak.

Banyak anak baru yang mau jadi artis yang sudah menemui saya. Pada awalnya mereka akan bercerita tentang konsep musik, image dll. Tapi ketika saya kasih pilihan, mau pilih popularitas dan uang atau karya seni, pada umumnya akan memilih popularitas dan uang. Karena bikin musik kan butuh biaya dan kebutuhan perut tidak bisa ditunda sampai besok kan? Selain itu, industri musik juga lebih memilih musisi yang bisa menghasilkan uang daripada yang menghasilkan karya yang luar biasa (dari segi musikalitas tentunya)

Jadi pada dasarnya dunia musik kita (atau mungkin di seluruh dunia?) lebih memilih untuk menghasilkan bintang dibanding menghasilkan musisi. Like it or not, that's the fact. Idealisme boleh lah mundur dulu ke belakang sampai bisa menghasilkan uang yang cukup. Standar cukup adalah sebuah nilai yang sangat relatif. Pada akhirnya idealisme adalah sebuah konsep yang ..... nanti dulu ya.

Monday, March 8, 2010

Training Artis

Tahukah anda, artis juga perlu mendapatkan training sebelum 'mulai' bekerja sebagai artis/entertainer. Mirip seperti yang terjadi di kantor ya? Yah, kurang lebih seperti itu sih.

Training sebagai artis adalah hal pertama yang saya lakukan ketika pertama kali sign kontrak sebagai manager artis. Mengapa hal itu perlu dilakukan? Tentunya supaya di kemudian hari kemungkinan 'bad image' atas nama si artis bisa diminimalisir. Tidak sedikit pastinya kabar yang beredar mengenai artis yang dicap sombong, belagu, sok artis, ngga kooperatif, tukang bikin sensasi, mangkir dari kontrak dll. Hal-hal tersebut perlu dibahas di awal karir sebelum mereka 'mengorbit' dan sulit diatur :D.

Training yang pertama kali saya lakukan adalah tata cara menghadapi wartawan. Dalam hal ini termasuk cara ngomong waktu wawancara dan ngobrol basa-basi, cara duduk, cara bersalaman dll. Wartawan terutama wartawan musik adalah komunitas kecil yang saling mengenal. Apabila ada satu kabar jelek dari seorang artis, hampir bisa dipastikan kabar itu akan menyebar dengan sangat cepat. Kalau hal itu sampai terjadi, jangan harap si artis akan mendapatkan pemberitaan yang bagus di kemudian hari. Selain itu, penyakit artis baru adalah grogi di hadapan wartawan, terutama di acara launching album. Perpaduan antara euforia memiliki album baru dengan sensasi menjadi pusat perhatian secara instan bisa membuat si artis salah bersikap di depan rombongan wartawan. Apa akibatnya kalau hal ini terjadi? Si artis baru bisa dicap kampungan dan mengurangi kemungkinan beritanya untuk 'tayang' di media si wartawan yang bersangkutan.

Training selanjutnya adalah performing act. Terutama di atas panggung dan di acara TV. Artis baru yang belum punya jam terbang tinggi akan terlihat sangat berbeda dengan artis senior yang sudah berpengalaman puluhan tahun. Perlu disadari bahwa orang yang datang ke sebuah acara off-air menginginkan artis yang disukainya untuk tampil maksimal. Tidak ada kesempatan kedua untuk hal ini, karena kita tidak bisa mengharapkan penonton untuk datang 2 kali ke acara yang menampilkan si artis. Sekali lancung ke ujian, bisa gagal lulus kan?

Itulah sebabnya saya agak malas kalau ditawari untuk menjadi manager artis yang sudah 'jadi'. Karena saya tidak tahu bagaimana 'dasar' dari si artis tersebut. Buat yang mau menjadi manager artis atau mau berkarir di dunia entertainment, semoga tulisan ini bisa membantu.

Friday, March 5, 2010

Review: Slank - Anthem For The Broken Hearted

Sejak resign dari radio Mustang di tahun 2004, pengetahuan musik saya jadi sangat tidak update, karena kesempatan untuk mendengar radio hanya ketika di mobil. Ditambah lagi radio yang sering saya dengar adalah radio yang sering memutarkan lagu lama, lengkaplah sudah :D. Jadi kalau ada teman yang nanya, udah denger album A? tau artis baru yg B? kemungkinan besar jawaban saya adalah tidak .

Tapi ada sebuah album yang sengaja saya cari untuk didengarkan ketika album itu baru dirilis, yaitu album Slank yang direkam di Amerika, Anthem for The Broken Hearted. Kenapa album ini sangat spesial untuk dicari? Karena Slank adalah kelompok musk yang menyertai masa ABG saya di tahun 90an, albumnya semua saya beli dari Suit2 hehe sampe album Lagi Sedih. Kenapa Cuma sampe album Lagi Sedih? Karena setelah itu saya merasa sudah tidak ABG lagi, hehe.

Album Anthem For The Broken Hearted secara rekaman dan musikalitas patut diacungi jempol. Menurut saya album ini adalah album dengan penggarapan sound rekaman terbaik dari semua album slank yang pernah saya dengar. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, alat rekaman yang ada di Indonesia kalah bagus dibanding dengan yang ada di Amrik, atau soundman yang menggarap rekaman di Indonesia masih kalah kelas dibanding soundman Amrik. Either way, rekaman album ini sangat rapi. Salah satu teman saya pernah berkomentar, “Ini Slank? Ko’ jadi bagus gini musiknya?” hehe.

Kekurangan yang sangat mengganggu di album ini adalah bahasa. Mungkin sudah banyak yang tahu kalau Kaka tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Hal ini ditambah dengan pemilihan kata-kata pengganti lirik bahasa Indonesia ke Inggris yang kurang tepat. Tidak perlu lah dibahas di bagian mana yang tidak pas (lafal atau bahasanya) karena saya bukan orang yang tepat untuk itu. Tapi kesalahan itu sangat mengganggu saya sebagai salah satu mantan slankers dan penikmat musik berbagai genre.

Teman saya ada yang berkomentar “Duh malu maluin aja nih, bahasa masih kacrut mau go internasional, mending les bahasa inggris aja dulu.”

Kekurangan di pemilihan beberapa kata-kata yang tidak tepat sangat disayangkan, karena Ridho sang gitaris pernah sekolah di Hollywood.

Buat penggemar berat Slank, album ini masih layak untuk dikoleksi. Semoga Slank bisa sukses di Internasional.
 
Business Logo design

Hit Counter